Habis kopi, terbitlah terang—sepasang mata tak lagi mengerang.
Siap begadang dan menulis hingga lewat terang.
Menyambut terang-terang baru di Salatiga.
Siap begadang dan menulis hingga lewat terang.
Menyambut terang-terang baru di Salatiga.
Sebelum mengetuk tiap tuts pada badan laptop ini,
Aku membayangkan betapa beruntungnya aku dapat berada di sini.
Masih di Salatiga.
Aku membayangkan betapa beruntungnya aku dapat berada di sini.
Masih di Salatiga.
Orang-orang mulai terbangun,
Buyar fokusku, pecah dan tercecer di alun-alun.
Tetapi tetap ingin bertahan di Salatiga.
Orang-orangnya sibuk dengan urusan masing-masing.
Menyudutkan kenangan-kenangan lama pada ujung tebing.
Tebarkan dirimu dan buat cerita-cerita manis di Salatiga.
Buyar fokusku, pecah dan tercecer di alun-alun.
Tetapi tetap ingin bertahan di Salatiga.
Orang-orangnya sibuk dengan urusan masing-masing.
Menyudutkan kenangan-kenangan lama pada ujung tebing.
Tebarkan dirimu dan buat cerita-cerita manis di Salatiga.
Namun Salatiga tak selalu cerah,
Awan dengan kelambu abu-abu pun terkadang bisa marah.
Tak apa, aku masih padamu Salatiga.
Hiruk pikuknya sangat jarang menyentuhku.
Aku betah, tahu?
Cukup Salatiga.
Awan dengan kelambu abu-abu pun terkadang bisa marah.
Tak apa, aku masih padamu Salatiga.
Hiruk pikuknya sangat jarang menyentuhku.
Aku betah, tahu?
Cukup Salatiga.
No comments:
Post a Comment
Say what you need to say.